What Wikipedia Says about Lippo Group

The Lippo Group (力宝集团) is a major Indonesian conglomerate founded by Mochtar Riady. The Lippo Group began with Bank Lippo, later using this as a platform for regional property development projects. These projects, throughout Indonesia and China, are akin to Irvine, California's development. In 2001, the Lippo Group delved into the education market with the newly-minted Putian University (in Putian, Fujian Province, China) by providing international training (using English) for specially-selected accounting and computer science students.

In the 1996 US presidential campaign, Mochtar Riady's son James was a major campaign contributor to the Democratic Party. In 1998, the United States Senate conducted an investigation of the finance scandal of the 1996 U.S. presidential campaign. James Riady was indicted and pleaded guilty to campaign finance violations by himself and his corporation. He was ordered to pay an 8.6 million U.S. dollar fine for contributing foreign funds to the Democratic Party, the largest fine ever levied in a campaign finance case.[3][4][5][6]

James Riady lives with his family in Lippo Village, Karawaci, surrounded by security aides. He has been demonized by the media because of his involvement in the campaign financing scandal. Hendardi, an Indonesian human rights activist, once stated that Riady's "major achievement was to export corruption to the U.S."[3]

Rabu, 21 April 2010

James Riady - The Evangelical Felon

(source: http://theasiamag.com/cheat-sheet/james-riady-the-evangelical-felon)


March 17, 2009
Special to asia!

Of the many rich Chinese doing business in Indonesia, James Riady stands as the only one openly mixing religion with business. By and large, the 97% indigenous Indonesians tolerate the 3% minority Chinese unless provoked. In 2001, soon after pleading guilty to a felony charge brought against him by the US Justice Department, he gave an interview to Fortune that caused him endless troubles at home.

Riady was a close friend of Bill Clinton an intimately linked to Clinton’s campaign fundraising scandal. He pleaded guilty to the felony charge of “conspiring to defraud the US”, paid a record US$8.6 million fine, and was barred from the US for two years

Most people would keep a low profile after that. But Riady felt the need to explain, through Fortune, that he was not the villain he was made out to be by the US media. During the interview, Riady, a born again Christian waxed lyrical about setting up schools in poor villages all over Indonesia and converting the people there to Christianity. Indonesia is the world’s largest Islamic country with more than 200 million Muslims. Riady’s remark angered many of them. Muhammadiyah (“Follower of Muhammad”), the second-largest Islamic organisation that claims to have 28 million members, quickly assembled mass protests against Riady. James and his family, his parents, wife and four children retreated into their 16-room mansion in Lippo Village

Six years on, his dream of setting up schools in villages remains a dream

James Riady became a Christian in 1990. God, he said, spoke to him personally and showed him all his past sins. “I thought I was a good man. God said, 'You're a horrible man.' I cried and cried... Since then I try to be a better person, and my life has changed,” he once said

Certainly there are changes, but not in the way Riady runs banks. In his pre-Christian days in the 1980s, Riady was caught by US regulators funneling money from his Worthen Bank in Arkansas to his private business. After his conversion, in he 1990s, he was caught doing the same thing through the Lippo Bank in San Francisco. In Indonesia, the Riadys were caught inflating the stock price of Lippo E-net and fined US$500,000.

For years, Riady has talked about giving up business to become a missionary. “Once you have seen eternity, it changes the way you see things,” he declared. As he is still running Lippo from Indonesia today, it would seem that eternity is taking a backseat to earthly gains.(Lee Han Shih)

*Lee Han Shih is the founder, publisher and editor of asia! Magazine.
email: hanshih@theasiamag.com

Di Balik Tuduhan Monopoli Liga Inggris

(source: http://www.antara.co.id/print/1222010366)

Oleh: F.x. Lilik Dwi Mardjianto

Jakarta (ANTARA News) - Komisioner KPPU M. Iqbal dan pengusaha Billy Sundoro sudah berstatus tersangka dan ditahan. Keduanya dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau pasal 12 huruf a dan b, atau pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Iqbal ditangkap oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika diduga menerima uang dari seorang pengusaha berinisial Billy. Billy memberikan tas warna hitam yang berisi uang Rp500 juta kepada Iqbal.

Transaksi pemberian uang itu berlangsung di salah satu lift hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.

Selain kedua orang itu, tim KPK juga menangkap tiga orang lain, yaitu sopir Iqbal berinisial Br, Asisten Pribadi Billy berinisial Bd, dan seorang "office boy" Hotel Aryaduta berinisial G.

Pemberian itu diduga terkait sengketa hak siar Liga Utama Inggris yang melibatkan perusahaan televisi berlangganan Astro All Asia Networks, Plc dan PT Direct Vision (PTDV) serta beberapa televisi berbayar lainnya.

Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah mengatakan, KPK menduga pemberian uang Rp500 juta kepada M. Iqbal terkait dengan perkara yang ditangani oleh KPPU sejak September 2007 itu.

"Dari hasil analisa kita, kasus itu terkait perkara KPPU September 2007," kata Chandra.

Hingga kini KPK belum membeberkan identitas Billy yang diduga memberi uang Rp500 juta kepada Iqbal. Berdasar penelusuran, Direct Vision adalah salah satu bidang usaha yang terafiliasi dengan Grup Lippo. Nama Billy Sundoro sering mucul dalam aktivitas bisnis Grup Lippo.


Saling terkait

Dugaan KPK tidak tanpa alasan. Paling tidak, dugaan itu selaras dengan fakta-fakta yang saling terkait, salah satunya bahwa KPPU memihak PT Diract Vision dalam putusannya.

Dalam putusan tertanggal 29 Agustus 2008, KPPU menyatakan PT Direct Vision, sebuah perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Grup Lippo melalui PT Ayunda Prima Mitra, tidak melakukan monopoli hak siar Liga Utama Inggris.

Pada awalnya, Liga Utama Inggris disiarkan melalui Free to Air (FTA) TV pada 1991 hingga pada musim 2004-2007. Selain disiarkan melalui FTA TV, juga disiarkan melalui seluruh Televisi berbayar yang ada di Indonesia.

Untuk musim 2007-2010, tayangan Liga Inggris secara eksklusif ditayangkan pada Televisi berbayar Astro yang berpusat di Malaysia. All Asia Multimedia Networks (AAMN), anak perusahaan Astro All Asia Networks, Plc (AAAN) yang memegang lisensi penyiaran Liga Utama Inggris di kawasan Asia bisa menayangkan liga bergengsi itu di Indonesia hanya jika menggandeng investor lokal.

Oleh karena itu, All Asia Multimedia Networks menggandeng PT Ayunda Prima untuk membentuk PT Direct Vision. PT Ayunda Prima Mitra adalah sebuah perusahaan yang seluruh sahamnya dikuasai oleh PT First Media, sebuah perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo.

Hak siar eksklusif yang dimiliki Astro melalui PT Direct Vision tersebut memicu Indovision, Telkomvision, dan IndosatM2, serta beberapa kelompok masyarakat melaporkan dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat kepada KPPU.

Tidak tanggung-tanggung, para pelapor melaporkan beberapa pihak sekaligus, yaitu PT Direct Vision (Terlapor I), Astro All Asia Networks, Plc. (Terlapor II), ESPN STAR Sports (Terlapor III), dan All Asia Multimedia Networks, FZ-LLC (Terlapor IV).

Dalam putusannya, KPPU menyatakan, Astro All Asia Networks, Plc (AAAN), All Asia Multimedia Networks (AAMN), dan PT Direct Vision (PTDV) tidak menggunakan kekuatan monopolinya di Malaysia guna menekan ESPN STAR Sports (ESS) untuk menyerahkan hak siar Liga Inggris wilayah Indonesia.

Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan penggunaan kekuatan monopoli oleh Astro Group, baik selama proses negosiasi antara Astro Group dengan ESS maupun dari perbandingan nilai pembelian hak siar Liga Inggris untuk wilayah Malaysia dan wilayah Indonesia.

Secara gamblang, KPPU menyatakan PT Direct Vision adalah salah satu termohon yang tidak dapat dipersalahkan atas tuduhan monopoli hak siar Liga Utama Inggris.

Selama perkara itu bergulir di KPPU, Astro mengambil langkah mengejutkan dengan memutuskan hubungan dengan PT Direct Vision, dan beralih kepada Aora TV. Langkah itu memicu reaksi PT Direct Vision karena perusahaan yang sebagian dimiliki oleh Grup Lippo itu terancam kehilangan pangsa pasar penikmat Liga Utama Inggris.

Keberpihakan KPPU kepada Grup Lippo tidak hanya dengan menyatakan PT Direct Vision bersih dari tuduhan monopoli, tetapi juga memerintahkan Astro tetap bermitra dengan PT Direct Vision untuk menayangkan Liga Utama Inggris.

Jika tidak bisa disebut memihak, putusan KPPU itu paling tidak telah menguntungkan PT Direct Vision, karena petinggi perusahaan itu bisa menghela napas panjang pertanda katakutan hilangnya pelanggaan sudah bisa teratasi. Dan itu tidak lepas dari peran serta KPPU.

Hal yang mencengangkan adalah, M. Iqbal adalah salah satu anggota tim sidang majelis perkara tersebut. Selain Iqbal, dua komisioner KPPU yang terlibat dalam penanganan perkara itu adalah Anna Maria Tri Anggraini dan Benny Pasaribu.

Iqbal kini meringkuk di balik terali besi penjara setelah ditangkap oleh petugas KPK karena diduga menerima uang Rp500 juta dari Billy, seorang yang diduga trkait dan memiliki hubungan baik dengan Grup Lippo yang menjadi salah satu sumber dana PT Direct Vision. Sementara itu, KPPU melalui para komisionernya ramai-ramai berkilah bahwa putusan perkara Astro tidak terkait dengan kepentingan manapun.


Membantah

Beberapa jam setelah Iqbal tertangkap pada 16 September 2008, sejumlah pejabat KPPU mendatangi gedung KPK. Mereka ingin melihat kondisi rekannya.

Namun, niat mereka terhalangi dengan tata cara KPK yang cukup ketat ketika sedang menangani perkara dugaan korupsi, apalagi kasus tertangkap tangan. Para komisionerpun urung bertemu dengan Iqbal.

Pada tengah malam, para komisioner memutuskan untuk meninggalkann gedung KPK. Sebelum beranjak, mereka menyempatkan diri untuk menemui sejumlah wartawan. Itulah kali pertama para komisioner membantah bahwa kinerja KPPU terpengaruh oleh kepentingan pihak tertentu.

Ketua KPPU Syamsul Maarif mengatakan, KPPU tidak pernah mendapat "nilai merah" selama hampir delapan tahun berkiprah. Dengan mata berkaca-kaca, Syamsul menegaskan kredibilitas yang susah payah dibangun hancur hanya dengan penangkapan Iqbal.

Tidak hanya membantah keterlibatan institusi KPPU dalam dugaan suap Iqbal, Syamsul bahkan menegaskan pihaknnya tidak akan segan-segan untuk menjatuhkan hukuman kepada Iqbal jika benar yang bersangkutan terbukti menerima suap.

"Itu segera akan kita bahas," kata Syamsul.

Syamsul mengatakan, setiap komisioner KPPU harus mematuhi kode etik, salah satunya tentang larangan untuk bertemu pihak berperkara.

Bobot hukuman yang mungkin dijatuhkan beragam, mulai dari teguran dan usulan pemberhentian oleh Presiden RI yang disetujui oleh DPR.

Meski demikian, katanya, KPPU tetap memberlakukan asas praduga tak bersalah sampai proses hukum menyatakan Iqbal bersalah.

Sehari kemudian, bantahan datang dari komisioner KPPU Benny Pasaribu. Benny berdalih bahwa putusan perkara persaingan hak siar Liga Utama Inggris yang melibatkan Astro All Asia News Network justru menguntungkan publik dan tidak terkait dengan kasus apapun

"Saya tidak melihat menguntungkan siapapun selain menguntungkan konsumen," kata Benny.

Benny mengatakan, menjelang putusan perkara terjadi konflik di dalam tubuh PT Direct Vision, sebuah perusahaan patungan Astro dengan PT Ayunda Prima Mitra yang juga terafiliasi ke Grup Lippo.

Menurut Benny, KPPU berpandangan siaran Liga Utama Inggris harus tetap bisa dinikmati oleh konsumen, terutama mereka yang telah membeli peralatan untuk berlangganan.

"Kita tidak ingin Astro meninggalkan konsumennya," kata Benny yang juga tergabung dalam tim sidang majelis perkara Astro.

Benny menambahkan, putusan KPPU untuk tetap mempertahankan siaran Liga Utama Inggris juga untuk memberi waktu kepada Astro dan PT Direct Vision untuk menyelesaikan masalah internal mereka.

Sesaat menjelang putusan, KPPU menerima sedikitnya ada enam surat yang menyatakan pemutusan hubungan antara Astro dan PT Direct Vision, sehingga kemungkinan berdampak dalam penayangan Liga Utama Inggris.

Semua boleh berkilah, semua juga boleh menuduh. Namun yang jelas uang Rp500 juta sempat "mampir" ke tangan Iqbal.

Bola sekarang dikuasai KPK. Mampukah KPK menimang bola itu, sehingga tuduhan suap terbukti bukan hanya sekedar fitnah?(*)

COPYRIGHT © 2008 ANTARA

PubDate: 21/09/08 22:19

Kamis, 15 April 2010

Carrefour Terusir dari Mal Milik Lippo Group

(source: http://www.gatra.com/artikel.php?id=130182)

Ratusan karyawan Carrefour di Mal Palembang Square, Sumatera Selatan, rajin berdemo, beberapa pekan terakhir ini. Jumat dua pekan lalu, misalnya, mereka berdemo di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palembang. Kemudian demo itu pindah di kantor pemerintahan kota. Kendati lokasi demo berpindah-pindah, tuntutan yang mereka teriakkan sama. Mereka menyoal surat ultimatum yang dikeluarkan PT Bayu Jaya Lestari Sukses (BJLS), selaku pemilik Mal Palembang Square.

Isi surat tertanggal 21 Juli 2009 itu meminta Carrefour segera mengosongkan gerainya di Mal Palembang Square paling lambat 60 hari setelah surat ultimatum dikeluarkan atau 21 September mendatang. Ultimatum ini tentu saja membuat para karyawan Carrefour yang berjumlah 642 orang ketar-ketir.

Soalnya, jika Carrefour mengosongkan gerainya, itu sama saja menghentikan operasional Carrefour. Bukan tidak mungkin bakal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Padahal, sebagian karyawan bekerja sejak Carrefour pertama kali beroperasi di Mal Palembang Square, enam tahun silam. "Kami tidak mau jadi pengangguran," ujar Sobirin, karyawan Carrefour, melontarkan keluhannya.

Demo para karyawan itu tidak sia-sia. Aspirasi mereka ditindaklanjuti Wali Kota Palembang, Eddy Santana Putra, dengan memanggil kedua pihak yang berselisih, 24 Agustus lalu. Hadir dalam pertemuan itu, pihak BJLS yang diwakili kuasa hukumnya, Suharyono, dan Estate Manager, Kristianus M. Dala. Sedangkan pihak Carrefour diwakili Corporate Affairs Director Carrefour Indonesia, Irawan D. Kadarman, dan tim kuasa hukumnya.

Hanya saja, dalam pertemuan itu, masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. BJLS tidak bersedia mencabut ultimatumnya. Demikian pula pihak Carrefour, yang menolak mengosongkan gerainya. "Makanya, kami sarankan usai Lebaran untuk melakukan pertemuan kembali, tepatnya 30 September 2009," kata Eddy. Sambil menunggu pertemuan usai Lebaran itu, Eddy mengatakan, Carrefour diperbolehkan beroperasi seperti biasa.

Sebelumnya, Carrefour dengan BJLS menjalin kongsi yang diikat melalui perjanjian sewa pada 15 Desember 2003. Disepakati, Carrefour menyewa lahan di Mal Palembang Square, gedung milik BJLS, selama 20 tahun. Sewa ini berakhir pada 15 Desember 2023. Sayang, kongsi itu tidak berumur panjang. Sebabnya, pada 21 Juli lalu, BJLS melayangkan surat ultimatum pengakhiran perjanjian sewa kepada pihak Carrefour.

Menurut kuasa hukum BJLS, Suharyono, perintah pengosongan itu dikeluarkan karena Carrefour dinilai melanggar ketentuan kontrak perjanjian sewa, seperti tercantum pada Pasal 7 ayat 7. Klausul itu menyebutkan, "Selaku penyewa, Carrefour berjanji untuk menjalankan perjanjian sewa dengan segala kewajibannya berdasarkan praktek usaha yang baik dengan etika yang tinggi. Serta melaksanakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia."

Berikutnya disebutkan pada Pasal 7 ayat 8 butir b: "Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan wanprestasi. Karena itu, perusahaan berhak untuk mengakhiri perjanjian sewa secara sepihak."

Diungkapkan Suharyono, pada Agustus 2005 Carrefour divonis bersalah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena melakukan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Merujuk pada putusan KPPU itu, peretail raksasa ini terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Persaingan Usaha. Yakni larangan pelaku usaha secara sendiri maupun bersama pelaku usaha lain melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Karena itu, KPPU mengganjar Carrefour dengan hukuman denda Rp 1,5 milyar. Putusan ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung pada Maret 2007 yang menolak kasasi Carrefour dan menguatkan putusan KPPU. "Dalam kontrak perjanjian sewa secara jelas disebut, jika melanggar Pasal 7 ayat 7, maka pemilik gedung berhak mengakhiri perjanjian secara sepihak," ujarnya.

Tudingan BJLS itu dibantah Carrefour. Alasan BJLS menganggap Carrefour melanggar ketentuan perjanjian sewa karena pernah divonis bersalah oleh KPPU juga dianggap mengada-ada. "Jelas tidak ada relevansinya antara keputusan KPPU dan pelanggaran perjanjian sewa," kata Corporate Affairs Director Carrefour Indonesia, Irawan D. Kadarman, kepada Gatra.

Apalagi, menurut Irawan, Carrefour telah membayar denda seperti perintah dalam putusan KPPU. "Mereka sengaja mencari alasan agar kami (Carrefour) keluar dari gedung itu," ia menambahkan.

Kasus Carrefour berseteru dengan pemilik mal tidak hanya terjadi di Palembang. Kasus serupa terjadi di Mega Mall Pluit, yang kini berganti nama menjadi Pluit Village, Jakarta Utara. Menurut Irawan, Carrefour terpaksa hengkang dari mal itu setelah pemilik gedung, PT Duta Wisata Loka (DWL), mengusir mereka.

Bahkan sekelompok massa yang diduga orang-orang suruhan pihak DWL bertindak kelewat batas. Mereka mengosongkan dan memindahkan barang dagangan dari gerai Carrefour ke halaman mal pada 31 Juli lalu.

Bukan itu saja. Akses karyawan menuju toko pun ditutup dengan cara mengelas pintu masuk karyawan. Berikutnya, pada 8 Agustus, papan nama Carrefour diturunkan. "Istilah kasarnya, pengelola gedung telah melakukan pengusiran paksa," kata Irawan.

Seperti di Mal Palembang Square, status Carrefour di Pluit Village juga hanya penyewa. Gerai Carrefour di tempat ini beroperasi sejak 1999, dengan masa perjanjian sewa hingga 20 tahun atau berakhir pada 2029. Selama 10 tahun menyewa, keberadaan Carrefour tidak pernah diusik. Tapi, belakangan, pihak DWL menuding Carrefour melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta.

Menurut kuasa hukum DWL, Agustinus Dawarja, perintah pengosongan gerai Carrefour di gedung milik kliennya itu telah sesuai dengan hukum. Pembatalan perjanjian sewa itu dilakukan DWL dengan terpaksa karena adanya teguran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Isi teguran itu menyebutkan, Carrefour telah melanggar batas maksimal luas area sewa hypermarket. Sesuai dengan Perda Nomor 2/2002, luas usaha hypermarket paling besar adalah 8.000 meter persegi. "Carrefour menyewa lahan hingga 13.000 meter persegi," ujar Agustinus kepada Rukmi Hapsari dari Gatra.

Manajemen Carrefour tegas membantah. Setelah dilakukan pengukuran ulang, kata Irawan, ternyata luas area penjualan Carrefour hanya 6.900 meter persegi. Kalaupun mencapai 13.000 meter persegi, itu karena ada beberapa area yang digunakan sebagai area penunjang, tapi bukan termasuk area penjualan. Misalnya kantor, gudang, tempat ibadah, dan area penunjang penjualan. "Artinya, luas area penjualan tidak melebihi batas ketentuan perda," tutur Irawan.

Di balik pengusiran Carrefour itu, merebak aroma persaingan usaha hypermarket. Pasalnya, pemilik gedung Mal Palembang Square maupun Village Pluit adalah PT Lippo Karawaci Tbk. Diketahui, Lippo juga punya unit usaha hypermarket yang menjadi kompetitor Carrefour, yakni Hypermart. "Ini bentuk persaingan usaha tidak sehat yang sengaja diciptakan kepada kami," kata Irawan.

Kuasa hukum DWL, Agustinus, membantah tudingan itu. "Saya tidak melihat ada kaitan antara Lippo Group secara hukum sebagai pemegang saham dan keputusan klien saya menghentikan perjanjian sewa," ujarnya. Penghentian perjanjian sewa itu, katanya, murni karena melanggar perda.

Bantahan serupa disampaikan pihak BJLS selaku pemilik Mal Palembang Square. Menurut Estate Manager BJLS, Kristianus M. Dala, keputusan meminta Carrefour mengosongkan gerainya itu bukan karena motif persaingan usaha, melainkan karena ada pelanggaran perjanjian sewa. "Kalau Carrefour sudah pindah, siapa pun investor baru yang beminat silakan menjadi penyewa," kata Kristianus.

Sujud Dwi Pratisto, Anthony Djafar, dan Noverta Salyadi (Palembang)
[Hukum, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 3 September 2009]

Buruh Kymco Minta Kejelasan Status

(source: http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=78%3Ajawa&id=1768%3Aburuh-kymco-minta-kejelasan-status&option=com_content&Itemid=178)

E-mail Cetak PDF

Tangerang, Indowarta

Sudah delapan bulan tidak aktif bekerja, sekitar 400 orang buruh dari PT. Kymco Lippo Motor Cikarang yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi unjukrasa menuntut kejelasan dari status mereka yang saat ini sedang dirumahkan oleh PT. Kymco Lippo Motor.

Ratusan buruh pabrik yang memproduksi motor Korea ini melakukan aksinya di Bundaran Lippo Karawaci Kota Tangerang, Rabu (29/04).

Para buruh meminta kepada dua perusahaan yaitu PT. Kymco dengan Lippo Group agar memperhatikan nasibnya, sebab buruh butuh kepastian apakah masih akan dipekerjakan atau akan di PHK.

Menurut Koordinator Aksi Saryono sudah hampir sekitar 400 buruh sudah dirumahkan sejak September 2008 atau sekitar 8 bulan yang lalu. "Apabila jika kami tidak dipekerjakan kembali,kami meminta agar diberi upah pesangon yang sesuai dengan ketentuan, kami khawatir apabila perusahaan tidak segera membayar pesangon maka akan habis sehingga tidak bisa memberikan pesangon buruh sebelum permasalahan perusahaan terselesaikan, saat ini buruh memang tetap diberikan upah karena statusnya masih dirumahkan".

Humas Lippo Group Danang K Jati mengatakan Pihak Lippo pada perusahaan PT. Kymco hanya sebagai pemegang saham pasif, yang artinya tidak berperan dalam manajemen. "Namun Lippo akan membicarakan kepada PT. Kymco dan akan meminta pihak PT Kymco agar bertanggung jawab terhadap para buruhnya,".jelasnya.

Pengunjukrasa membawa poster yang bertuliskan Bagaimanakah Nasib Keluarga Kami ??, PT. Kymco Beri Kejelasan Nasib Karyawan, Bayar Pesangon Sesuai Ketentuan. (rinto)

Gaji Belum Dibayar 5 Bulan, Karyawan Direct Vision Ngadu ke DPR

(source: http://www.detikfinance.com/read/2010/02/25/140424/1306770/6/gaji-belum-dibayar-5-bulan-karyawan-direct-vision-ngadu-ke-dpr)

Jakarta - Sejumlah karyawan PT Direct Vision mengadu ke Komisi IX. Para karyawan perusahaan yang sebelumnya mengelola televisi berlangganan Astro itu belum dibayar gajinya selama 5 bulan.

"Sudah berkali-kali karyawan meminta penjelasan kepada Direktur Direct Vision Paul Montolalu dan juga kepada pemegang saham yakni PT Ayunda Prima Mitra dan Silver Concord Holdings Ltd perihal gaji yang tidak dibayarkan namun menemui jalan buntu," ujar perwakilan karyawan Direct Vision Sirajs el Munir dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (25/02/2010).

Namun, lanjut Sirajs bukan gaji yang diterima karyawan tetapi surat dari kuasa hukum perusahaan yang isinya mengundang karyawan untuk menyelesaikan hubungan industrial atau PHK.

"Dan hanya dibayarkan sebesar dua bulan gaji," tuturnya.

Ia mengharapkan, permintaan karyawan hanya menginginkan gaji yang menjadi hak segera dibayarkan oleh perusahaan.

"Karena sebagian besar keadaan karyawan sudah sangat menderita. Sampai ada yang telah menjual aset pribadi untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga," jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Sirajs, perwakilan karyawan mengadu kepada komisi IX untuk bisa membantu penyelesaian masalah ini.

"Hingga kini karyawan masih menunggu penjelasan Direktur dan Pemegang saham dari Direct Vision mengenai nasib mereka," tegasnya.

PT Direct Vision dahulu adalah pemegang lisensi merk dagang televisi berlangganan Astro yang dihentikan siarannya sejak 20 Oktober 2008. Total karyawan PTDV berjumlah 204 orang yang tersebar di Jakarta, Medan, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Bali.

PT Ayunda Prima Mitra sebagai pemilik PT Direct Vision bersama dengan Astro Group, dimana Ayunda memiliki saham sebanyak 49%. Dan sisanya dimilik Silver Concord, 51%. Ayunda Prima sendiri, dimilik oleh PT First Media, sebanyak 99% dalam bentuk nilai penyertaan sebesar Rp 34,54 juta dan PT Margayu Vantri Chantiqa dengan nilai penyertaan Rp 35 ribu (1%).

Namun dalam perjalannya Astro All Asia Networks Plc (AAAN) yang dimiliki konglomerat Malaysia Ananda Krishnan, silang sengketa dengan Lippo group mengenai kepemilikan sahamnya. Lippo dinilai tidak memberikan jumlah saham sesuai kesepaktan awal.

Lippo tetap meminta bayaran saham US$ 250 juta, dan menolak membayar tagihan ke AAAN senilai RM 805 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun. Tagihan itu adalah biaya operasional Direct Vision, sejak tiga tahun lalu sampai 1 September 2008.

Karena ribut masalah kepemilikan saham dan tagihan ini, akhirnya AAAN memutuskan perjanjian berkhir 31 Agustus 2008 dan memberikan kelonggaran ke Astro TV hingga 30 September 2008.

Namun AAAN masih memberikan kelonggaran ketiga hingga 19 Oktober 2008 dan terbukti mulai 19 Oktober, siaran Astro TV mati total.

Buntut kisruh dengan Lippo Group, pihak AAN juga menguggat beberapa perusahaan milik Lippo Group ke pengadilan Arbitrase di Singapura atau Singapore Arbitration Centre.

Astro Malaysia menggugat Lippo senilai RM 905 juta atau sekitar Rp 2,46 triliun sebagai kompensasi keuangan sehubungan gagalnya Kesepakatan Berlangganan dan Kepemilikan Saham (KBKS).

Namun pihak Lippo yang diwakili Ayunda melakukan serangan balik pada AAAN dengan tudingan melakukan rekayasa pembukuan PT Direct Vision.

Yang terbaru, Lembaga arbitrase internasional Singapura (Singapore International Arbitration Centre/SIAC) memerintahkan sejumlah anak perusahaan Grup Lippo, termasuk PT First Media Tbk membayar ganti rugi US$ 230 juta kepada Astro dan anak-anak perusahaannya sebagai pengganti proses persidangan arbitrase.

(dru/qom) Herdaru Purnomo - detikFinance

Lippo employees protest

(source:http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/03/lippo-employees-protest.html)

Aditya Suharmoko , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 02/03/2010 2:27 PM | Business

Hundreds of employees from PT Direct Vision, a Lippo Group company, complained to lawmakers Wednesday over what they said was the management's failure to pay their salaries for four months, since October last year.

At least 204 employees met the House of Representatives' Commission IX on labor, health and social affairs to complain against Direct Vision's negligence in paying its employees since the company's pay TV Astro stopped operating.

"We just want our salaries, to which we are entitled, to be paid by the company because most of the employees are living in despair. Some of them have sold personal assets to cover their family's living costs," they told the lawmakers.

Direct Vision had sent a letter to the employees asking them to settle the case with lawyers appointed by the company, the employees said.

They said Direct Vision had sent a letter to the Communication and Information Technology Ministry on Jan. 10, 2010, requesting the ministry allow Astro to resume operations.

Comments (2) | Post comment
A | A | A | Mail to a friend | Printer Friendly Version | Digg it! | Add to Del.icio.us! | Add to Reddit! | Stumble it! | Share on facebook
What a scandal! To think of the reputation of Lippo Group as a global player in the international arena. A multi-billion dollar group with asset base and revenue conglomerate with over ten thousand employees; Lippo has offices worldwide; in China mainland, Hong Kong and Macau; Australia, Malaysia, Philippines, Singapore and naturally back home in Indonesia. Furthermore, with over 10 public-listed companies in different part of the world and their perpetual investment worldwide from projects ranging from their core strength business to even mining; one may say there is not a thing that Lippo has not ‘touched’ on their business sprawling. Yet looking at how Lippo Group handles one of their latest venture which apparently turned sour and bitter with the Malaysian-based Astro All Asia Network broadcasting company; causing further employment issues with the very employees they hired to develop Astro in Indonesia at the first place; it is quite another story. One may wonder how many faces Lippo Group does represent after all. To put their own employees in a limbo without any intention to take any action concerning the employees’ right is simply despicable. The sheer amount of total salaries from the total employees in Direct Vision is paled in comparison with the global business ventures of Lippo Group worldwide. Yet another plan from this giant conglomerate; as Indonesia's largest financial holding group, is to pour CNY 10 billion into its operations in Mainland China in the next three years, and the mainland is predicted to contribute to 70% of its revenues in the next ten years. There is endless list of the thirst and hunger of business deals and investments of Lippo Group around the world. If only the same hunger for business could be applied simply in taking care of their own employees. Shame on Lippo Group and their leaders for failing to take care of the most basic right of their own employees. To Lippo Group leader, this amount of money you owe to your employees is nothing compare to all the assets you have gained, so give the people back what they are entitled to and stop talking big, instead start responding and do something!
It is such a shame to read this news that Lippo Group, one of Indonesia's largest conglomerates with estimated annual revenues of USD 3 billions, does not pay its own staff for months. It is depicable to even think a well known nation wide company could be so low by refusing to pay the rightful salary of its own staff for months and let some of its employees struggle financially to fulfil their daily lives. I would have thought James Riady, the CEO of Lippo Group is aware of this situation and should not apply double standard. Lippo Group ceased to pay the Direct Vision's employees since October 2009. Interestingly, an interview of James Riady by Knowledge@Wharton was published on 28 October 2009 whereby James repeatedly mentioned the core strength or strategies of Lippo group is the whole concept of RESPONSIVENESS embraced by Lippo. If Lippo Group is a RESPONSIVE group, we certainly do not see any responsiveness in their dealings with the Direct Vision's hundred employees who have to fight for their rightful salary. Or else, none of us would be reading this piece of news. If you continue to read the article published in http://knowledge.wharton.upenn.edu/article.cfm?articleid=2365, you would be appaled to see the double standard of what being preached by James Riady and what actually being done to his own employees at Direct Vision. A man who claimed that the highest, most beautiful thing that people can say about him when he dies is that he had been a man of God, that there has been clear evidence that he had lived a Godly live..... a Godly man automaticalluy means that he loves his family and society, that everything he does has a purpose beyond material issues and that he wants to make a social impact. Ethichs and morality are important to define success. Well, very nice wording James, we are now waiting to see your own words as the CEO of Lippo Group (thus Direct Vision) being applied in this case. I sincerely hope that you will not be part of the Hall of Fame of NATO group (NO ACTION TALK ONLY) Do the rightful thing for your own employees and be the man of God you claimed!!!